Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh
Definisi Ushul Fiqh : Definisi fiqh secara bahasa berarti landasan tempat membangun sesuatu (pemahaman). Ushul jamak dari kata al-ashl.
Sedangkan menurut istilah : berarti dalil – dalil fiqh seperti Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, qiyas dan lain – lain.
Objek pembahasan ilmu ushul fiqh adalah dalil, hukum, qa’idah dan ijtihad. Sedangkan pembahasan ilmu fiqh adalah perbuatan mukallaf (muslim yang telah baligh) dilihat dari segi ketetapan hukum.
Jadi yang dibahas adalah hukum dari semua tindakan mukallaf, seperti: wajib, haram, makruh, sunah, dan mubah.
Senada dengan ‘Abdullah bin Umar al-Baidlowi yang membagi kajian Ushul Fiqh pada tiga bagian.
1.    Sumber dan dalil hukum
2.    Methode istinbat
3.    Ijtihad
Sedangkan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450-505) mengemukakan bahwa objek kajian Ushul Fiqh dibagi menjadi empat bagian.
Pembahasan tentang hukum syara, seperti hakim, mahkum fih, dan mahkum ‘alaih
Pembahasan tentang Sumber-sumber dan dalil-dalil hukum
Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hokum dari sumber-sumber dan dalil-dalil

Pembahasan Tentang Ijtihad
Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya al-Wasith Fi Ushul al-fiqh menjelaskan bahwa yang menjadi pokok dalam objek Ushul Fiqh ada dua hal yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam (hukum-hukum syara’).

   

Manfaat Mepelajari Ushul Fiqh
    Gagasan pembaharuan hukum Islam tanpa mengetahui dan mendalami metodologi pembentukan  hukum Islam, maka pembahuruan itu sediri akan menjadi bumerang bagi umat Islam karena akan menimbulkan kerancuan berfikir dalam hukum Islam.
Maka manfaat mempelajari ushul fiqh akan memungkinkan untuk mengetahui dasar-dasar para mujtahid masa silam dalam membentuk pendapat fikihnya. Sehingga akan diketahaui sejauh mana kebenaran pendapat-pendapat fikih ynag berkembang di dunia Islam, dengan studi ushul fiqh seseorang akan memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam al-qur`an dan hadits-hadits hukum dalam sunnah rosulullah, kemudian meng-istinbat-kan hukum dari dua sumber tersebut. Seseorang akan memperoleh pengetauhuan bagaimana seharusnya memahami sebuah ayat atau hadits, dan bagaimana cara mengembangkannya maka dari itu para ulama mujtahid terdahulu, lebih mengutamakan studi ushul fiqh dari studi fikih itu sendiri. Sebab dengan mempelajari ushul fiqh seseorang bukan saja mampu memakai tetapi berarti mampu mem-produk fikih. Mendalami ushul fiqh seseorang akan mampu secara benar melakukan muqaranat al-mazahib al-fiqhiyah, studi komparatip antar pendapat ulama fikih dari berbagai mazhab, sebab ushul fiqh merupakan alat untuk melakukan perbandingan mazhab fikih. Kegunaan ushul fiqh baru akan terasa bilamana keyakinan pintu ijtihad sudah tertutup dari benak umat islam.

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh
Para mujtahid pada zaman Rasulullah kaidah-kaidah ushul fiqh belum dibukukan dan belum dirumuskan dalam satu disiplin ilmu, akan tetapi kemampuan para mujtahid tidak diragukan karena mereka menyaksikan sendiri bagaimana rasulullah dalam memcahkan masalah sehingga mereka tahu betul bagaimana cara memahami ayat dan dapat menangkap tujuan pembentukan hukumnya. Merekapun ahli/mahir dalam menganalogikan permasalahan dan mengambil hukumnya dari al-qur`an. Oleh karena itu Khudari Bik menyimpulkan begitu Rasulullah wafat mereka sudah siap untuk menghadapi perkembangan social bilamana ada permasalahan-permasalahan baru yang tidak ada pada zaman Rasulullah.
Sedangkan pada masa tabi`in dalam berfatwa mereka merujuk pada al-quran, fatwa sahabat, ijma`, qiyas, dan maslahah mursalah. Pada masa ini, Abd Al-Wahhab mengatakan telah terjadi perbedaan pendapat tentang apakah fatwa sahabat dapat dijadikan hujjah (dalil hukum) dan perbedaan pendapat tentang ijma` ahl al-madinah  (kesepakatan penduduk madinah) apakah dapat dipegang sebagai ijma`.

Imam-Imam Mujtahid Sebelum Imam Syafi’i
Metodhe ijtihad pada masa ini lebih jelas dasar-dasar istinbatnya berpegang pada kitabullah jika tidak ditemukan pada kitabullah maka mereka berpegang kepada sunnah Rasulullah, jika tidak ditemukan didalamnya ia berpegang kepada para sahabat, jika mereka berbeda pendapat, mereka akan memilih salah satu dari pendapat-pendapat itu dan mereka tidak mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat sahabat. Begitulah yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah.
Imam Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan, begitu pula dengan Imam Malik yang berpegang kepada penduduk madinah sebagai sumber hukumnya. Pada masa Imam Abu Hanifah dan Imam Malik belum sampai pada pembukuan secara sistematis, jelas dan lengkap.

Pembukuan Ushul Fiqh
Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga mulailah diadakan pembukuan secara sistematis oleh Muhammad bin Idris al-Syafi`I (150 H – 204 H), dia juga meramu Ushul Fiqh. Dengan Karyanya yang ia mengukuhkan mazhabnya yang hingga saat ini dikenal sebagai mazhab Safi’iyyah.
Kemudian masa sesudah Imam Syafi’I bermunculan ilmuan ilmuan fikih yang pada abad ke empat ke lima dan seterusnya.

Aliran-aliran Ushul Fiqh
Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh, serta bersifat lintas madzhab.
Mutakallimin. Dalam aliran atau Tariqah ini, mereka mempelajari ilmu usūl fiqh sebagai suatu disiplin ilmu yang terlepas dari pengaruh madzhab atau furu’ faktornya karena:
    Imam Shafi’i sendiri yang menetapkan bahwa dasar-dasar tashri’ itu memang terlepas dari pengaruh furu’.
     Mereka berkeinginan untuk mewujudkan pembentukan kaidah-kaidah atas dasar-dasar yang kuat, tanpa terikat dengan furu’ atau madzhab.
liran atau Tariqah Hanafiyyah. Dalam aliran atau Tariqah ini, mereka membuat kaidah-kaidah atau teori-teori guna memelihara furu’ yang telah ditetapkan oleh para imam.
 Semua pemikiran mereka itu, dapat dilihat dari hasil karya terbaik mereka dalam bentuk 4 (empat) kitab, yaitu:
1.    Kitab Usūl al-Jassas (wafat 370 H).
2.    Kitab Usūl al-Karakhiy (wafat 430 H).
3.    Kitab Ta’shish al-Nadzar, karya al-Dabbusiy (wafat 430 H).
4.    Kitab Usūl al- Bazdawiy (wafat 438 H).
5.    Setelah penulisan keempat kitab tersebut, muncul kitab baru dalam bentuk Mukhtashar dan Mutawwal.
Madzhab Hanafi adalah madzhab yang sejak semula memiliki pengembangan metodologis yang baik. Hal itu dibuktikan dengan pengaruh perkembangan ilmu qawaid fiqh di kalangan Syafi’iyyah yang dipengaruhi oleh qawaid fiqh Hanafi. Karena itu, mereka mengembangkan sendiri model penulisan ushul fiqh yang khas madzhab Hanafi.
Mereka membuat penguat kaidah-kaidah dengan menggunakan berbagai macam dalil, tanpa menghiraukan apakah kaidah tersebut memperkuat madzhab atau melemahkannya.
Pada perkembangannya muncul trend untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya Usul Fiqh
Adapun karya-karya yang disusun oleh aliran-aliran tersebut berupa kitab-kitab. Kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Syafi’iyah di antaranya adalah :
1.    Al-Risalah, disusun oleh Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204H). Kitab al-Risalah adalah buku pertama Ushul Fiqh. Oleh karena itu, buku ini menjadi referensi utama dalam studi Ushul Fiqh dan banyak yang mensyarahnya, antara lain Syarh Abi Bakr al-Shairafi (w. 330 H). Buku ini telah dicetak berulang kali dan yang paling popular di dunia Islam adalah edisi yang dikomentasi oleh Syekh Ahmad Syakir seorang ahli Ushul Fiqh yang berkebangsaan Mesir yang hidup pada abad kedua puluh ini. Edisi tersebut pada mathba’ah (percetaka) Musthafa al-Babi al-Halabi di Mesir tahun 1358 H/1929 M.
2.    Al-Burhan fi ushul al-fiqh, disusun oleh Abu al-Ma’ali abd Al-Malik ibn Abdillah al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain (419-478 H). Buku ini adalah salah satu buku standar dalam Ushul Fiqh aliran jumhur atau mutakkalimin. Buku ini beredar di dunia Islam dan cetakan kedua pada tahun 1400 H dipercetakan Dar al-Anshar di Kairo.
3.    Al-Mugfhni fi Abwab al-Tawhid wa al-‘Adl, disusun oleh al-Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H), seorang tokoh mu’tazilah. Buku ini terdiri dari 23 jilid yang berbicara tentang Ushul Fiqh. Buku ini telah berulang kali di cetaka dan terakhir oleh Kementrian Kebudayaan Mesir tanpa menyebutkan tahunnya. Selain itu, pengarang yang menyusun buku yang berjudul al-‘Amd atau al-‘Ahd, namun buku ini seperti dikatakan oleh Abu Sulaiman, belum pernah beredar dalam bentuk cetakan.
4.    Al-MU’tamad fi Ushul al-Fidh, oleh Abu Al-Husein Al-Bashri (w. 436 H), seorang ahli Ushul Fiqh dari kalangan Mu’tazilah. Buku ini terdiri dari dua jilid dan terbilang sebagai salah satu buku standar Ushul Fiqh aliran jumhur ulama atau Syafi’iyah. Buku ini dikomentari oleh Muhammad Hasan Hitu dan diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr pada tahun 1400 H/1980 M di Damaskus Syiria.
5.    Al-Muntashfa min ‘ilm al-Ushul, oleh Abu hamid Al-Ghazali (w. 505 H- 1111 M) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Seperti halnya setiap karya Al-Ghazali, buku ini terbilang seperti buku Ushul Fiqh yang sangat bermutu dan beredar di dunia Islam sampai sekarang ini. Buku ini terdiri dari dua jilid dan telah dicetak berulang kali, antara lain cetakan pertama pada al-Mathba’ah al-Amiriyah Bulaq Mesir tahun 1324 H. Disamping itu juga, Al-Ghazali mengarang kitab al-Mankhul min Ta’liqat al- Ushul, yang telah dicetak berulangkali antara lain edisi yang dikomentari oleh Muhammad Hasan Hitu yang diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr di Damaskus Syiria pada tahun 1400 H/1980 M,dan kitab syifa’ al-Galil fi Bayan Al-Syibah wa al-Mukhil al-Ta’lil. Buku ini terdiri dari satu jilid dan telah dicetak berulang kali, antara lain oleh Mathba’at al-Irsyad Baghdad tahun 1930 H/1971 M.
6.    Al-Mahsul fi ‘Ilm al-Ushul karya fakhr al-Dien al-Razi (544-606 H/1150-1210 M), seorang ahli tafsir dan ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Kitab ini merupakan rangkuman dari empat buah buku Ushul Fiqh standar aliran mutakkalimin/Syafi’iyah tersebut di atas, yaitu kitab al-Burhan fi Ushul al-Fiqh oleh Imam al-Haramin, kitab al-‘Amd oleh Abdul Jabbar, kitab al-Mu’tamad oleh Abu al-Husein al-Basri dan kitab al-Mustashfa oleh al-Ghazali. Buku ini aslinya terdiri dari dua jilid besar. Terakhir dikomentari sehingga menjadi beberapa jilid oleh seorang guru besar Ushul Fiqh Universitas Islam Ibnu Sa’ud di riyad, yaitu Syekh Jabir Fayyadh al-‘ulwani. Cetakan pertama diterbitkan oleh Universitas Islam Ibnu Sa’ud Riyad tahun 1979 M.
7.    Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, karya Saif al- Dien al-Amidi (551-631 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Buku ini telah dicetak berulang kali dalam empat jilid, antara lain oleh penerbiy Dar al- Kutub al-‘Ilmiyah Beirut pada tahun 1403 H/1983 M.
8.    Minhaj al-Wushul fi ‘Ilm al-Ushul, karya al-Qadi al-Baidawi (w.685H). buku ini dicetak di Mathba’ah Muhammad ‘Ali Subaith wa awladuhu, Mesir tanpa menyebutkan tahun.
9.    Al-‘Uddah fi Ushul al-Fiqh, karya Abu Ya’la al-Farra’ al-Hanbali (380-458 H) seorang ahli Ushul Fiqh dari kalangan hanbaliyah (pengikut mazhab Hanbali). Kitab ini terdiri dari tiga jilid dan terkenal di antara buku standar Ushul Fiqh dalam mazhab Hanbali. Buku ini dicetak pada Muassasah al-Risalah Beirut pada tahun 1980.
10.    Raudah Al-nazir wa Jannah al-Munazir¸ karya Muwaffaq al-Dien Ibnu Qudamah al-Maqdisi (541-620 H), ahli fikih dan Ushul Fiqh dalam mazhab Hanbali. Buku ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang dan terakhir diterbitkan oleh Universitas Islam Muhammad Ibnu Sa’ud di Riyad, dan cetakan ke empat pada tahun 1408 H/1987 M, yang dikomentari oleh DR. Abdul Aziz Abdurrahaman al-Sa’id.
11.    Al-Musawwadah fi Ushul al-Fiqh. Buku ini disusun oleh tiga orang ulama besar penganut mazhab Hanbali. Mulanya buku ini dikarang oleh Syekh al-Islam Majd al-Dien Abu al-Barakat al-Harrani (590-652H), kemudian diteruskan dan ditambah oleh putranya Syihab al-Dien Abu Abdul-Halim (672-682H), dan seterusnya oleh cucunya Taqiy al-Dien Ibnu Taimiyah (661-728 H). Buku ini dicetak oleh percetakan al-Madani di Kairo tanpa menyebutkan tahunnya.
12.    A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin, karya imam Syams al-Dien Abu Bakr yang terkenal dengan Ibnu Qayyim al-Jawziyah (691-751 H), ahli Ushul Fiqh Mazhab Hanbali. Buku ini berbicara panjang lebar tentang Ushul Fiqh mazhab Hanbali dan telah berulang kali dicetak, antara lain edisi Syarh Thaha Abd Rauf terbitan Dar al-Jail Beirut tahun 1973 M.
13.    Mukhtashar Muntaha al-Sul wa al-Amal karya Jamal al-Dien Ibnu al-Hajib (570-646 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Malikiyah. Buku ini lebih dikenal dengan Muktasar Ibnu al-Hajib dan dicetak pertama kali pada Mathaba’ah Kurdistan Kairo tahun 1326 H.
Sedangkan kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun menurut aliran Hanafiyyah antara lain :
1.    Taqwim al-Adillah, karya Imam Abu Zaid Al-Dabbusi (w. 432 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku ini merupakan Ushul Fiqh standar dalam mazhab Hanafi ini dicetak pertama kali di al-Mathba’ah al-Amiriyah, Kairo Mesir.
2.    Ushul al-Syarakhsi, disusun oleh Imam Muhammad Ibnu Ahmad Syams al-Aimmah al-Syarakhsi w. 484 H, ahli fikih dan Ushul Fiqh mazhab Hanafi. Buku ini dikenal oleh berbagai kalangan dan menjadi rujukan utama mazhab Hanafi. Buku ini terdiri dari dua jilid dan terakhir diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah Beirut pada tahun 1413 H.
3.    Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul, disusun oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi (400-482 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku ini lebih dikenal dengan Ushul al-Bazdawi dan telah banyak disyarah oleh para ahlinya, diantaranya yang amat terkenal adalah Syarh Abdul Azir Al-Bukhari dengan judul kasyf al-Asrar yang merupakan rujukan utama dalam mazhab ini. Buku ini terakhir dicetak dalam dua jilid pada Mathba’ah al-Syirkah Al-Sahafiyah al-Usmaniyah Kairo, tanpa menyebutkan tahun.
4.    Manar al-Anwar oleh Abu Al-Bakarat Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad al-Nasafi (w. 710 H), ahli Ushul Fiqh Hanafi. Buku ini telah banyak disyarah antara lain oleh penulisnya sendiri dengan judul Kasyr al-Asrar yang diterbitkan oleh Dar al-Kutud al-‘Ilmiyah Beirut pada tahun 1406 H.
Kitab – kitab yang disusun dengan menggabungkan aliran Jumhur dengan aliran Hanafiyah antara lain yang beredar di dunia Islam, antara lain :
1.    Jam’u al-Jawami’, karya Taj al-Dien Ibnu al-Subki (727-771 H) ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Buku ini sangat popolar dan telah banyak disyarah antara lain oleh Jalal al-Dien al-Mahalli (727-771 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah. Buku ini terdiri dari dua jilid dan telah berulang kali diterbitkan antara lain oleh Dar al-Fikr Beirut pada tahun 1402 H.
2.    Al-Tahrir fi Ushul al-Fiqh, karya Kamal al-Dien Ibn Al-Humaw w. 961 H, ahli fikih dan Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Buku ini disyarah antara lain oleh Amir Bad Syahd al-Husaini, ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah, dicetak pertama kali dalam dua jilid pada percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi wa Awladuhu Mesir tahun 1350 H.
3.    Mussalam al-Subut, karya Muhibullah Ibn Abd al-Sakur w. 1119 H yang kemudian disyarah oleh ‘Abd al-Ali Muhammad ibn Nizam al-Dien al-Ansari dalam bukunya Fawatih al-Rahmut. Kedua tokoh itu adalah ahli Ushul Fiqh dari kalangan Hanafiyah. Kitab ini dicetak kitab Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali pada al-Mathaba’ah al-Amiriyah, Bulaq Mesir, tahun 1322 H.
4.    Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah, karya Abu Ishaq al-Syatibi 9w. 790 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Malikiyah. Buku ini luas pembahasannya dan banyak bicara tentang penetapan hukum melalui tujuan syari’ah maqashid al-syari’ah. Buku ini dicetak antara lain edisi yang dikomentari Syekh Abdullah Darraz terdiri dari empat jilid yang diterbitkan oleh Dar al-Ma’rifah Beirut, tanpa menyebutkan tahun.
Buku- buku ilmu Ushul Fiqh yang disusun pada abad modern di antaranya :
1.    Irsyad al-Fuhul, karya Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani 117-1255 H, ahli Ushul Fiqh terkemuka pada abad ke-13 H. Buku ini telah dicetak beberapa kali di antaranya oleh percetakan Mustafa al-babi al-halabi Mesir, tahun 1356 H/1937 M.
2.    Ilmu Ushul al-Fiqh, karya ‘Abdul Wahab khallaf. Kitab ini telah mengalami beberapa kali cetak ulang, dan cetakan kelima belas diterbitkan oleh Dar al-Qalam di Kuwait, tahun 1402 H/1983 M.
3.    Ushul al-Fiqh, disusun oleh Syekh Muhammad Abu Zahrah, guru besar Universitas Al Azhar Kairo yang hidup pada awal abad kedua puluh. Buku ini beredar di Indonesia dan telah mengalami beberapa kali cetak ulang, antara lain oleh penerbit Dar al-Fikr al-‘Arabi Mesir tanpa menyebutkan tahun.
4.    Ushul al-Tasyri’ al-Islami, disusun oleh al-Ustadz ‘Ali Hasballah, guru besar syari’at Islam pada Universitas Al Qahirah Mesir. Buku ini cetakan kelimanya diterbitkan oleh penernit Dar al-Ma’arif Mesir tahun 1396 H/1976 M.
5.    Dhawabit al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, karya Muhammad Sa’id Ramadan al-Buthi, guru besar Ushul Fiqh pada Universitas Damaskus Syiria. Buku ini berasal dari disertai pengarang pada Universitas Al Azhar Kairo. Cetakan kedua pada tahun 1937 H/1977 M, penerbit Muassasah al-Risalah Beirut.
6.    Al-Wasit fi Ushul al-Fiqh al-Islami, karya DR. Wahbah al-Zahaili, guru besar fikih dan Ushul Fiqh pada Universitas Damaskus Syiria. Buku ini terdiri dari dua jilid dan diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr al-Mu’asir Beirut tahun 1406 H/1686 M.
7.    Al-Fikr al-Ushuli, disusun oleh DR. Abd, Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman, dosen Fakultas Syari’ah dan Dirasat al-Islamiyah Universitas Ummul-Qura, Mekkah. Buku ini menguraikan sejarah terbentuk dan perkembangan Ushul Fiqh dari mulai terbentuknya sampai abad ke-7 H. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Dar al-Syuruq, Jeddah-Saudi Arabia, tahun 1403 H/1983M.

Hukum Syara`
Kalangan Ahli Ushul fiqh,hukum syara’adalah“Khitab(titah) Allah yg menyangkut tindak tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan,pilihan berbuat atau tidak;atau dalam bentuk ketentuan ketentuan.”Contoh: “Kerjakanlah Shalat”,Janganlah kamu memakan harta org lain secara bathil. para ahli fiqh  membagi  dua  bagian dalam hukum syara’.Pertama hukum taklifi dan hukum Wadh’i. hukum Taklifi yaitu hukum yang menjelaskan tentang perintah larangan,dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya.Contoh hukum yang menunjukkan perintah adalah “dirikanlah shalat”,membayar zakat dan menunaikan ibadah haji ke baitullah. madzhab hanafi membagi hukum taklifi ini menjadi tujuh yaitu,fardhu,wajib,mandub(sunat),Makruh tahrim,makruh Tanzih,haram dan mubah.Sedangkan Hukum wadh’i sendiri adalah titah Allah yang berbentuk wadh’i ,yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah tidak langsung mengartru perbuatan mukalaf,tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf ituseperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dhuhur.hukum wadh’i sendiri terbagi menjadi lima yaitu sebab,Syarat,Mani’,Rukhsah,Sah dan Batal. hakim bisa diartikan orang yang merupakan sumber dari hakim.Di sebgaian besar ulama berpendapat bahwa yang menjadi sumber hukum syar’i bagi seluruh perbuatan mukallaf ialah Allah swt. objek hukum adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia.atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. menurut ahli fiqih objek hukum ialah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’.Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri.hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat.seperti daging babi. Subjek hukum disini adalah perbuatan mukallaf yang menyangkutkan hukum syar’i.dan diisyaratkan si mukallaf itu untuk mensahkan taklifnya menurut syariat  atas dua syarat.Pertama hendaklah dia mampu memahami dalil taklif bahwa dia mampu memahami undang undang yang dipaksakan kepadanya itu dari Al-quran dan sunah.Itu sendiri atau dengan perantara.Orang yang tidak sanggup memahami dalil taklif itu maka tidak mungkin diamelaksanakan apa yang dipaksakan kepadanya itu dan tidak akan berhasil apa yang dimaksudkannya itu.kemampuan memahami dalil taklif itu hanya dapat dengan mempergunakan nash nash yang disusun oleh ahli ahli fikir yaitu dengan mempergunakan akal.

Mahkum Fih
Mahkum fih perbuatan orang mukalaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara`
Syarat-syarat mahkum fih
Mukallaf  harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan, Mukallaf  harus mengetahui sumber taklif.
.Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43
و اقيمو االصلاة
Artinya:”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.

Mahkum `Alaih
Orang mukalaf yaitu orang yang berhak dibebani hukum taklifi dengan syarat sebagai berikut : mampu memahami hokum baik secara mandiri maupun dari bantuan orang lain terkait al-qur’an maupun hadits Rasullah. Orang yang dapat disebut sebagai mukalaf apabila ia mampu memikul beban taklif. Yang berarti segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam.
Hakim
Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (al-Hakim) itu adalah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para rasul-Nya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia. Tidak ada perselisihan pendapat ulama syara' itulah yang menjadi hakim sesudah rasuI dibangkit dan sesudah sampai seruannya kepada yang dituju.
Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasuI dibangkit. Golongan Mu'tazilah berpendapat, bahwa sebelum rasuI dibangkit, akaI manusia itulah yang menjadi hakim, karena akaI manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.
OIeh karena itu mukalIaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang dipandang buruk oIeh akal. AlIah akan memberikan pahala kepada para mukallaf yang berbuat baik berdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana AlIah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantaraan syara'.
Golongan Asy'ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang syara' tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf. Golongan Mu'tazilah dan Asy'ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi'at: dipandang baik oleh akal dan yang tidak bersesuaian dengan tabi'at dipandang buruk oleh akal.
Titik perselisihan antara golongan Mu'tazilah dengan golongan Asy'ariyah ialah tentang apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara' belum menerangkannya, sedangkan golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara' kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu perbuatan.
Seluruh kaum muslimin bersepakat, bahwa tidak ada hakim selain Allah, sesuai dengan firman Tuhan:
Artinya:
Tidak ada hukum melainkan bagi Allah. (al An'âm: 57)
Diantara dalil yang menguatkan pendapat jumhur ialah firman Allah:
Artinya:
Dan tidaklah Kami menyiksa sesuatu umat sehingga Kami bangkitkan seorang rasul. (al-Isrâ': 15)
Diantara dalil yang dipergunakan oleh golongan Mu'tazilah ialah firman Allah:
Artinya:
Katakanlah olehmu, tidak bersamaan dengan yang buruk dengan yang baik. (al-Mâidah: 100)
Sebagaimana terdapat ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah menyiksa manusia lantaran menyalahi rasul sebelum sampai kepada mereka seruan rasul-rasul itu dengan cara yang semestinya, demikian pula ada ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa hisab dan pembalasan umum secara adil diberikan juga berdasarkan bekasan-bekasan amal pada jiwa menurut petunjuk akal.
Mengenai soal apakah hukum-hukum Allah itu disyari'atkan harus sesuai dengan kemaslahatan hamba atau tidak, seluruh ulama sepakat bahwa hukum-hukum Allah itu bersesuaian dengan kemaslahatan hamba.

Sumber Dan Dalil Hukum Islam
Sumber Hukum Islam adalah Al-Qur’an dan hadist Rasullah, dan ada beberapa dalil pendukung seperti : Qiyas, istihsan, dan istishlah, ketiga dalil tersebut sebagai dalil pendukung untuk sampai pada dalil pokok (al-qur’an dan hadist Rasulullah). Para sahabat menyebutnya sebagai metode istinbat. Imam al-Ghazali misalnya menyebut qiyas sebagai metode istinbat. Karena dalam kajian Ushul Fiqh terdapat dalil-dalil yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati. Sumber dalil yang disepakati antara lain : Al-qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma` dan qiyas. Sedangkan dalil-dalil yang tidak disepakati adalah : Istihsan, maslahah mursalah, adat istiadat (Urf), istishab, syar’u man qablana, mazhab sahabi (pendapat sahabat), dan sadd az-Zari’ah.
Metode Istinbat
Amar (Perintah) : dikemukakan oleh Khudari Bik seperti dalam bukunya Tarikh al-Tasyri : perintah tersebut terbagi kedalam beberapa bagian, antaranya printah yang menggunakan amara contoh :




Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Perintah wajib dengan menggunakan kata kutiba
Contoh :






Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (al-baqarah 2-178)
Nahi (Larangan)
1.    Menurut bahasa adalah larangan
2.    Menurut istilah adalah permintaan untuk tidak melakukan perbuatan dari atas ke bawah dengan kata (shighah) yang menunjukkan kepadanya.
Bentuk-bentuk kalimatnya (shighah)
Yaitu dengan لاَ nahi (larangan) dan dengan pewanti-wantian dengan kata : إيَّاكَ dan semisalnya serta dengan ungkapan yang redaksinya menunjukkan larangan dan pengharaman.
Yang ditunjukkan oleh larangan
Masalah ini diperselisihkan dan yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa larangan itu untuk menunjukkan makna pengharaman. Ini adalah makna yang hakikat yang merupakan maknanya secara bahasa dan tidak digunakan pada makna yang lainnya kecuali dengan jalur majaz. Dan qorinahlah yang menunjukkan makna pengalihan itu.
Ketersegeraan (al faur) dan pengulang-ulangan (at tikrar)

Yang rajah dari pendapat-pendapat tentang hal ini adalah bahwa larangan itu menunjukkan tuntutan ketersegaraan dan pengulang-ulangan. Karena kerusakan itu tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan menahan diri dengan segera dan untuk selama-lamanya.
Apakah larangan itu menunjukkan kerusakan (fasid). Ini harus diperinci.

sesuatu yang dilarang karena dzat perbuatan itu sendiri, sehingga larang itu berpengaruh kepada hakikat perbuatan itu sendiri
Contohnya
•    menjual sesuatu yang tidak ada
•    Sholat dengan tanpa wudlu
Hukumnya
Perbuatan itu dianggap rusak (fasid) dan batal, sehingga kedudukannya sama dengan sesuatu yang tidak ada.
jika larangan itu tidak tertuju kepada dzat perbuatan itu, tetapi kepada sesuatu yang berdekatan dengannya
Contohnya
•    larangan jual beli pada waktu adzan untuk shalat Jum’at.
•    Shalat di tanah yang rampasan (ghosob)
Hukumnya
Perbuatan itu memiliki akibat yang telah ditentukan oleh syari’at dengan diiringi kemakruhan, karena dilarang oleh syari’at
jika larangan itu tertuju kepada beberpa syarat dari perbuatan yang harus ada bagi perbuatan itu, bukan kepada dzat perbuatan itu.
Contohnya
•    berpuasa pada hari raya
•    jual beli dengan tidak memnuhi syarat
Hukumnya
Jumhur berpendapat bahwa pebuatan itu adalah fasid dan bathal. Dan Madzhab Hanafi membedakan antara ibadah dan mu’amalah.





Ijtihad
A. PENGERTIAN
Ijtihad: berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran. Secara istilah: “Pengerahan segala daya upaya untuk menemukan hukum-hukum syara dan penerapannya’”.
B. DASAR HUKUM
Dasar Ijtihad antara lain:
1.    Berdasarkan al-Quran, Surat al-Nisa’ Ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Argumentasi: Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada al-Quran dan Sunnah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsu, dan wajib kembali ke al-Quran dan Sunnah dengan jalan berijtihad, membahas kandungannya, qiyas dan metode-metode lain yang di hasilkan dari pemahaman Nash
2.    Berdasarkan Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul untuk menjadi gubernur di Yaman. Sebelum berangkat, Nabi bertanya:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي عَوْنٍ الثَّقَفِيِّ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“……Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, Muadz bin Jabbal menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?!, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?!, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW (HR. Tirmizi)”



C. FUNGSI IJTIHAD
Secara garis besar, fungsi Ijtihad adalah untuk menjadikan hukum Islam tidak stagnan, namun selalu berkembang sesuai dengan kemaslahatan manusia. Namun secara terperinci, fungsi Ijtihad antara lain:
-    Untuk menguji kebenaran riwayat Hadis
-    Untuk memahami redaksi Nash
-    Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam Nash

D. LAPANGAN IJTIHAD
Di dalam kajian Hukum islam, terdapat hukum-hukum yang tidak dapat berubah (al-ahkam al-Tsabitah/Qath’iy) dan hukum-hukum yang dapat berubah (al-ahkam al-mutaghoyyirot/Dzanny). Seluruh ulama sepakat bahwa hukum yang terkandung di dalam dalil qath’iy (pasti) tidak boleh berubah, dan yang terkandung di dalam dalil dzanny (tidak pasti) boleh berubah.

Konsep Qoth’iy ada 2 bagian:
1.    Qath’iy al-Tsubut (pasti datangnya dari Allah dan Rasul): seluruh ayat dalam Al-Quran dan Seluruh Hadis Mutawatir
2.    Qath’iy al-Dilalah (pasti penunjukannya/keterangannya): sebagian ayat di dalam Al-Quran dan sebagian Hadis Mutawatir

Dalam bidang di atas seorang Mujtahid tidak ada lapangan untuk berijtihad Konsep Dzanny ada 2 bagian juga:
1.    Dzanny al-Tsubut (tidak pasti datangnya): Hadis yang tidak mutawatir
2.    Dzanny al-Dilalah (tidak pasti penunjukannya/pengertiannya): sebagian ayat di dalam Al-Quran dan sebagian Hadis, baik mutawatir ataupun tidak
Dalam bidang Dzanny ini lapangan seorang mujtahid. Perinciannya:

a.    Jika Nash berupa Dzanny al-Tsubut (tidak pasti datangnya), maka tugas mujtahid meneliti sanad dan rawinya.

b.    Jika nash berupa Dzanny al-Dilalah (tidak pasti penunjukannya/ pengertiannya): Tugas Mujtahid mencari kejelasannya melalui prosedur yang telah ditentukan dalam kitab Ushul Fiqih.

E. SYARAT MUJTAHID
Seorang Mujtahid harus memenuhi syarat antara lain:
1.    Mengetahui Ayat-Ayat hukum dalam Al-Quran (sekitar 500 Ayat)
2.    Mengetahui Hadis-Hadis Nabi tentang hukum (sekitar 3000 Hadis)
3.    Mengetahui Nasakh Mansukh (Nash yang menghapus dan yang dihapus)
4.    Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’
5.    Menguasai bahasa Arab dan kaidahnya
6.    Menguasai Ushul Fiqih
7.    Mengetahui Maqashid al-Syariah al-Amah
8.    Memiliki niat tulus karena Allah
9.    dll (masing-masing ulama mempunyai persyaratan tambahan)

F. HUKUM BERIJTIHAD
Bila seseorang telah memenuhi syarat sebagai seorang Mujtahid maka hukum berijtihadnya adalah sebagai berikut:
a.    Fardlu ‘Ain:
-    Bilamana terjadi suatu peristiwa yang membutuhkan jawaban hukumnya ataupun Bilamana ditanya tentang peristiwa yang terjadi dan membutuh-kan jawaban hukumnya dengan segera, dan tidak mujtahid lain.

b.    Fardlu Kifayah:
-    Bilamana terjadi suatu peristiwa yang membutuhkan jawaban hukumnya, ataupun Bilamana ditanya tentang peristiwa yang terjadi dan membutuh-kan jawaban hukumnya dengan segera, namun ada mujtahid lain yang selainnya yang akan menjelaskan hukumnya.
c.    Sunah:
-    Berijtihad pada suatu hal yang belum terjadi tanpa ditanya.
-    Berijtihad pada suatu hal yang belum terjadi atas pertanyaan orang lain.

d.    Haram:
-    Berijtihad pada suatu hal yang sudah ada dalam Nash (al-Quran Hadis) yang tegas, jelas dan pasti (Qoth’iy), dan menyalahi ijma’.
-    Seseorang yang tidak memenuhi kriteria sebagai seorang mujtahid, sebab ijtihadnya dapat menyesatkan manusia.

G. TINGKATAN MUJTAHID
1.    Mujtahid Mustaqil (atau Mujtahid Mutlaq): Mujtahid yang mempunyai dan merumuskan metode istinbath hukum sendiri dan tidak terikat oleh metode mazhab lain. Contoh: 4 Imam Madzhab.
2.    Mujtahid Muntashib: Mujtahid yang dalam masalah Ushul Fiqih (tidak dalam hal fiqih) tetap berpegang kepada Ushul Fiqih salah seorang imam Mujtahid Mustaqil. Contoh: Abu Yusuf, al-Muzanni.
3.    Mujtahid Madzhab: Mujtahid yang dalam masalah Ushul Fiqih dan fiqih tetap berpegang kepada salah satu madzhab, namun ia tetap melakukan ijtihad pada maslah-masalah  yang belum terjawab di dalam madzhabnya. Contoh: Ibn Abi Hamid al-Asfraini, Abu Ja’far al-Thohawi al-Muzanni dll.
4.    Mujtahid Tatjih: Mujtahid yang kegiatannya adalah memperbandingkan berbagai madzhab untuk kemudian mencari dan memilih pendapat yang dianggap paling benar dan terkuat.

H. MACAM-MACAM BERIJTIHAD
Berijtihad ada dua macam:
1.    Ijtihad fardi: Prose ijtihad yang dilakukan perorangan atau beberapa orang.
2.    Ijtihad Jama’i: Prose ijtihad yang dilakukan secara kolektif, yang mempertemukan berbagai kalangan untuk kemudian membahas dan memutuskan ketentuan hukum pada suatu masalah.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Docnet Blog

Previous
Next Post »
Thanks for your comment